Wisuda STIKK: Seruan Pentingnya Akhlak


“Mari kita rayakan Wisuda ini dengan berbahagia.”

Demikian ajak Ilham Satria Mahbubi kepada teman-temannya pada acara Wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Kitab Kuning (STIKK) dan Ikhtitam Ad-Darsi. Menurutnya, wisuda adalah momen yang istimewa. Hari dimana hati terasa begitu tenang setelah melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar selama dua tahun terakhir.

“Kita teringat susah-susahnya melengkapi kitab. Susah-susah mengaji, saat ngantuk, saat lelah tetap mengaji. Seolah-olah hari ini kita merasa tenang,” imbuhnya pada acara wisuda yang digelar di Aula Yakowi, Ahad, 28 April 2019.

Untuk itu, Bpk. Solihin, selaku perwakilan Wali Wisudawan, mengucapkan terima kasih banyak kepada pengasuh dan segenap pengurus yang telah mendidik anak-anak mereka. “Semoga dengan bimbingan dosen dapat ilmu yang manfaat fiddini, fiddunya wal akhiroh,” harapnya di depan ratusan hadirin.

Dalam sambutannya, Ust. Jazim Ahmadi mengatakan, “STIKK dibentuk untuk mencetak sholihin dan sholihat.” Karena, menurutnya, tanpa adanya lembaga khusus dalam mengangani masalah keagamaan, akan sulit membentuk peribadi tersebut. Maka dari itu, STIKK An-Nur hadir sebagai lembaga pendidikan yang terfokus di bidang pendidikan agama serta moral.

Untuk mempelajari kitab kuning yang tidak ada harakat dan tanda baca itu tidaklah mudah. Diperlukan ilmu alat. Dan di STIKK, hal itu diajarkan secara mendalam. Ini dilatarbelakangi dengan semakin berkurangnya ulama yang ahli dalam memhami kitab kuning. “Karena di luar sana banyak aliran yang melenceng dari ajaran nabi. Hal ini disebabkan salah paham dalam memahami kitab, hingga menyebabkan paham yang salah,” ungkap dosen STIKK An-Nur II itu.

*Akhlak Lebih Penting*

Untuk selanjutnya, Dr. KH. Fathul Bari, S.S., M.Ag. berharap agar wisudawan STIKK ini dapat berkhidmat terlebih dahulu. Agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan dan bermanfaat pada yang lain. “Khidmat dahulu, jangan keburu nikah,” tutur pengasuh Pondok Pesantren An-Nur II itu.

Karena dalam wisuda ini ada penampilan demonstrasi hafalan Nadzom Alfiyah, Kiai Fathul teringat salah satu baitnya yang berbunyi, “Wa ghoiruhu ma’rifatun kahum wadzi… wahinda wabni wal ghulami walladzi.” Dalam nadzom ini kiai Fathul memberikan sebuah filosofi bagi tingkatan orang yang telah berilmu, seperti wisudawan STIKK ini.

Yang pertama, lafaz hum beliau tafsiri dengan sebuah kaum, masyarakat. Jadi, setelah wisuda bagaimana membina masyarakat. Karena sebagai seorang yang mendalami ilmu agama, alumni STIKK akan punya besar dalam bermasyarakat.

Kedua, lafaz Dzi yang merupakan isim isyarat. Itu berarti tugas bagi orang yang berilmu adalah memberi petunjuk dan membimbing masyarakat menuju rida Allah. “Baru kemudian bertemu lafaz hindun (nama perempuan). artinya barulah menikah (setelah tahap pertama dan kedua),” imbuh beliau disusul dengan tawa hadirin.

Keempat adalah wabni, yang berarti memiliki anak. Kelima ada lafaz walghulami. Maka selaras dengan menuntun masyarakat, berangsur-angsur akan punya pengikut. Dan terakhir adalah alladzi, yang berarti sesuatu. Pada akhirnya jika kelima langkah itu dilakukan, maka Allah akan memberi rahasia keilmuan.

“Maka mudah-mudahan, yang diwisuda ini betul-betul tidak hanya memiliki ilmu yang tinggi, tapi juga memiliki akhlak yang tinggi,” harap beliau. Karena Imam Syafi’i, salah satu imam mazhab, menjadi mulia bukan karena ilmunya saja, tapi karena akhlaknya. Beliau memegang teguh pesan gurunya, Imam Malik, untuk lebih mengedepankan akhlak.

“Apalah daya seseorang yang mempunyai ilmu setinggi langit, tapi kalau tidak mempunyai akhlak.  Ilmunya akan menjadikan dia iblis yang akan menyombongkannya,” imbuh Kiai Zainuddin dalam sambutannya di pesantren di Malang itu.

Di akhir sambutannya, beliau berharap agar para wisudawan STIKK ini bisa menjadi penerus ulama dan ibadillahis solihin. “Jika dibandingkan dengan harta dunia, mereka ini (para wisudawan) tidak sebanding dengan itu (bahkan lebih),” pungkas beliau.

(Miqdadulanam/Mediatech An-Nur II)

Awrad Santri

Tawassul

Waqiah

Istighosah

Yasin&tahlil

Burdah