Osmana Internal: Bersaing dalam Lawak, Berlomba Adu Kepintaran
“Dulu aku suka main layang-layang, tapi sekarang sudah tidak. Karena aku jadi tahu sakitnya ditarik-ulur.”
Riuh tawa terdengar dari para santri yang duduk menyaksikan Dito, santri kelas SMP, melawak di atas panggung. Dia menjadi finalis lomba Stund Up Comedy dalam ajang perlombaan santri An-Nur II, OSMANA Internal.
Punya bakat melawak, Dito berhasil mengungguli puluhan peserta lain di babak penyisihan. Ini mempertemukannya dengan Farid, pesaing beratnya dari kelas 3 SMA. Mereka merebutkan gelar juara satu di babak final.
Namun agaknya Dito lebih percaya diri lantaran terlebih dahulu tampil di atas panggung. Terlebih ketika Ust. Hafiz, sebagai juri, sedikit memberikan pujian padanya. Meski bukan berarti tidak ada cela. “Intonasinya jelas dan gesturnya juga bagus, tapi materi yang dibawakan kurang cocok,” kritik Ust. Hafiz.
Berbeda dengan Dito yang berpenampilan rapi, Farid lebih nyentrik dengan baju dan sarung batiknya. Rupanya Farid bukan hanya menyuguhkan goyunan lewat kata-kata, melainkan juga penampilan yang tidak biasa: dengan gaya ala Kartolo bersarung. Meskipun pada akhirnya ia harus rela menyerahkan piala juara satu pada adik kelasnya itu: Dito.
Di bidang seni lain, karya para santri yang mengikuti Qoutes Board, juga dipajang di sisi panggung. Quotes Board adalah lomba menulis dawuh/perkataan Kiai Badruddin pada sebidang papan berukuran 30×50 cm. Lomba ini serupa lomba kaligrafi konteporer, hanya saja bukan huruf hijaiyah, melainkan huruf abjad alphabet.
Sedang di bidang olimpiade, dalam hal ini membaca kitab (Qiraat Al-Kutub), para finalis unjuk kepintaran di atas panggung secara bersamaan. Secara bergantian, mereka melafalkan lafaz-lafaz pada Kitab Fath Al-Qarib, untuk tingkat SMA dan Safinah An-Najah untuk tingkat SMP.
Tampak Maqdum, santri kelas 5 Diniyah, lancar dan lihai membacakan lafaz. Ia juga dinilai pantas menjadi finalis lantaran dengan mudah menjawab pertanyaan dari Ust. Misbahuddin Asror, yang kini menjadi juri. Dan Taufiqurrahman, yang menjadi pesaingnya, tak mau kalah. Kelihaian mereka membaca kitab kuning sudah sebelas dua belas. Hingga juri sulit menentukan, dan pada akhirnya memutuskan Maqdum yang meraih juara satu.
Bidang olimpiade lain ada Khitobah. Khitabah adalah lomba menjadi dai. Wahid Azmi, asuhan Ust. Shobirin, kelas 6 Diniyah, kembali menjadi finalis setelah pada perlombaan sebelumnya, ia tampil sebagai juara. Ia membawakan materi yang menjadi gagasan terbentuknya Islam yang toleran: Islam Nusantara. Pada akhirnya, ia pun juga kembali membawa piala juara satu.
Perlombaan seperti bukan hanya menjadi sarana hiburan bagi santri. Namun juga menjadi sebuah jalan untuk mengasah bakat dan kemampuan santri. “Nantinya mereka akan diberikan arahan untuk kedepannya supaya bakat dan skillnya terus berkembang,” ujar Primas, salah satu panitia acara.
Dari tahun ke tahu, tingkat kemampuan santri terus meningkat. Sehingga pada lomba kali ini, para mahasiswa STIKK, yang bertanggung jawab atas acara ini, memperketat seleksi lomba. “Kami menargetkan mendapat juara yang benar-benar pantas menjadi juara,” lanjut Primas.
Tentunya bukan hanya kemampuan para peserta yang menjadi tolak ukur penilaian. Melainkan juga mental mereka di atas panggung. “Penilaian mental punya porsi yang sama dengan penilaian kemampuan dan materi,” kata mahasiswa STIKK kelas D1 itu. “Karena mental juga menjadi hal penting yang harus dikuasai santri dalam hidup di masyarakat nanti,” lanjutnya.
Mulai tahap perencanaan, pengumuman, penyisihan hingga usainya acara final, tak lepas dari kerja keras para panitia yang tetap mengaji meski tugasnya sebagai panitia bertumpuk-tumpuk. Dan hasilnya, rasa puas tergambar di wajah para santri sepulang dari acara tersebut. “Wah, meriah sekali, saya suka.”
Leave a Reply