Dua Doktor di Panggung Ahad Legi, 10 Usaha Membangun Karakter Muslim
Dua doktor berdiri di panggung Pengajian Rutin Ahad Legi, secara bergantian. Doktor KH. Fathul Bari membawakan sambutan dan Doktor Sudirman membawakan ceramah keagamaan.
Iman adalah nikmat yang harus benar-benar kita syukuri. Allah memberikan rizki ke pada seluruh mahluknya. “Akan tetapi, Allah memberikan nikmat iman hanya ke pada orang-orang yang dicintainya,” ujar Dr. KH. Fathul Bari, S. S., M. Ag., membawakan kata pengantar dalam Pengajian Rutin Ahad Legi, Ahad, 13 Oktober 2019.
Beliau melanjutkan, bahwa kematian bisa datang kapan saja, tanpa memandang usia. Karena itu, beliau menganjurkan ke pada kita, dan seluruh jamaah yang memenuhi halaman Masjid An-Nur II, untuk senantiasa menjaga ibadah.
Tempat terbaik yang menjadi tempat paling mudah mencari pahala adalah Makkah-Madinah. Di mana di dalam dua kota ini terdapat Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi. Mengutip sebuah hadist nabi, KH. Fathul menerangkan bahwa beribadah di kedua masjid tersebut, pahalanya berlipat ganda dari ibadah di masjid selain keduanya.
Dari kata pengantar ini, KH. Fathul sebenarnya ingin meminta doa restu atas keberangkatan Jamaah Ziarah Rasul yang akan berangkat bulan November mendatang. “Mohon do’a restunya, dan kami akan mendoakan jamaah sekalian supaya bisa berangkat umrah,” harap beliau menutup pengantarnya.
Membangun Karakter Muslim
Ada 10 usaha membangun karakter seorang muslim, atau dalam kata lain, Muslim Character Building. Dr. KH. Sudirman, S. Ag. M. Ag., yang membawakan kajian pada pengajian Ahad Legi bulan ini, menjelaskan bahwa 10 karakter muslim ini sudah seharusnya melekat pada jiwa seluruh umat Islam, dan santri khusunya.
Karena itu, beliau menghimbau ke pada umat muslim dan para santri untuk tetap menjaga jiwa keislaman dan jiwa kesantrian itu selamanya. “Maa ziltu thaliban, selamanya aku adalah santri,” ujar da’i asal Malang itu membuka ceramahnya.
10 usaha membangun karakter seorang muslim tersebut dimulai dari membersihkan akidah. Membersihkan akidah berarti membersihkan akidah dari segala hal yang mengotori akidah. “Bersihkan dulu akidah kita, dari kemusyrikan-kemusyrikan,” pesan beliau.
Setelah membersihkan akidah, beliau melanjutkan dengan beribadah secara benar. Beribadah secara benar artinnya beribadah sebagaimana dicontohkan oleh Nabi, yaitu yang sesuai dengan tuntutan syari’at. “Kita harus beribadah dengan benar, terutama salat, karena salat adalah do’a, dan do’a yang terbaik ada dalam salat.”
Yang ketiga, mempunyai integritas moral. Artinya seorang muslim harus mempunyai tata krama dalam berkehidupan. Sebagaimana kisah Imam Syafi’i, KH. Sudirman menerangkan bahwa adab (tata krama) itu lebih penting dari pada ilmu. “Orang pintar tapi tidak punya tata krama, percum tak bergun (sia-sia),” terang beliau. “Maka hiasilah dirimu dengan akhlak al-karimah,” tambah beliau.
Yang keempat, seorang muslim harus mempunyai jasmani yang sehat. Karena dengan badan yang sehat, akan mudah dalam melaksanakan ibadah. Salah satu ciri-ciri orang yang sehat jasmani, menurut beliau, adalah “makan enak, tidur nyenyak.” Dan salah satu cara Nabi dalam menjaga kesehatannya adalah dengan berjalan kaki.
Setelah mempunnyai jasmani yang sehat, seorang muslim juga harus memiliki kecerdasan. Kecerdasan tersebut bukan hanya kecerdasan otak (IQ), namun juga kecerdasan iman dan takwa (SQ), dan juga kecerdasan dalam hidup bersosial (EQ). “Kecerdasan seperti itu dapat mengantarkan kita keselamatan dunia dan akhirat,” tutur beliau menerangkan.
Karena kecerdasan tersebut dapat menjadi bekal bagi seorang muslim dalam memerangi hawa nafsu. Sebab, secara garis besar, beliau menerangkan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga hawa nafsu. Yaitu nafsu yang mendorong ke pada kejelekan, ke pada kebaikan, dan yang mendorong terhadap keduanya.
Dari ketiga nafsu tersebut, tentu yang terbaik adalah nafsu yang mendorong terhadap taat dan kebaikan, yaitu nafsu Muthma’innah. “Ciri orang yang memiliki nafsu Muthma’innah adalah orang yang tenang hatinnya,” terang beliau.
Mempunyai kecerdasan dan dapat menahan hawa nafsu adalah yang kelima dan enam. Sedang yang ketujuh adalah disiplin waktu. Disiplin waktu artinya tidak suka menyia-nyiakan waktu. Karena “Waktu ibarat pedang, barangsiapa yang lengah, ia akan tersayat pedang itu,” kata beliau.
Dengan menjaga waktu, menuntut seseorang untuk, yang kedelapan, hidup secara teratur. Hidup teratur adalah hidup dengan rutinitas yang terjadwal dan tertata rapi. Sehingga kita bisa hidup mandiri, yang kesembilan. “Mandiri itu tidak bergantung pada orang lain, bisa berdiri di atas kaki sendiri.”
Kalau ketiga hal tersebut telah terpenuhi, seorang muslim harus bisa memberikan manfaat terhadap orang lain. Mengutip sebuah hadis, beliau menutup ceramahnya, “Khoiru an-nas anfa’uhum li an-nas, sebaik-baik manusia adalah yang dapat memberikan manfaat terhadap orang lain.”
(MFIH/Mediatech An-Nur II)
Leave a Reply